Jumat, Februari 06, 2009


Saya setuju dengan usul pemikiran yang "Gepeng" dan pengemis. Para pejabat eksekutif di tiap kota harus segera bertindak efektif untuk mengatasi, mencegah dan menanggulanginya sambil secara konsisten menerapkan kebijakan seperti yang dilakukan di daerah-daerah tertentu yaitu: sekolah dan berobat gratis demi kesejahteraan rakyat. Kebijakan nasional yang menempuh cara-cara yang dapat berfungsi sebagai insentif bagi tumbuhnya sikap mengemis masyarakat. Sambil berdiskusi tentang pengemis, tiba-tiba kita juga dikejutkan oleh peristiwa tragis di Medan, yaitu demo kekerasan yg menyebabkan KETUA DPRD SUMUT MENINGGAL DUNIA. MENURUT SAUDARA INI GEJALA APA? DEMOKRASI MEMANG MEMBUKA RUANG KEBEBASAN, TETAPI HUKUM JUGA HARUS TEGAK AGAR KEHIDUPAN TERATUR. KEJADIAN DI MEDAN INI TENTU BUKAN TUJUAN DEMOKRASI. BAGAIMANA MENURUT SAUDARA KINERJA APARAT PENEGAK DISANA? DAN BAGAIMANA MENGATASINYA? YANG JELAS (1) Demonstran yang melakukan kekerasan tidak boleh menikmati keuntungan dari kejadian ini dalam arti aspirasi pemekaran daerah yang mereka usung tidak boleh dipenuhi, (2) semua tokoh penggagas dan penggerak pemekaran, penggerak demo dan demonstran yang terbukti memukul harus diminta tanggungjawabnya secara hukum di pengadilan dengan ancaman hukuman berat sesuai dengan tingkat kesalahannya, (3) pimpinan aparatur kepolisian setempat dan apalagi aparat di lapangan yang tidak berbuat apa-apa harus diminta juga tanggungjawabnya sebagaimana mestinya. APA PENDAPAT SAUDARA??
Saya Tunggu...


"Anda adalah apa yang anda pikirkan mengenai diri anda" demikian teori yang dikemukakan David J Schwartz dalam bukunya 'The Magic of Thinking Big'. Beginilah logikanya. Cara anda berpikir menentukan cara anda bertindak. Cara anda bertindak menentukan keberhasilan anda. Menurut David kunci keberhasilan terletak di dalam cara berpikir positif terhadap diri sendiri.

Anda saat ini adalah hasil dari cara berpikir anda sebelumnya, dan anda di masa depan adalah hasil dari cara berpikir anda saat ini. Kalau anda saat ini menjadi orang yang inferior itu artinya anda sebelumnya berfikir bahwa anda inferior dan kalau saat ini anda masih berfikir inferior maka anda tetap akan menjadi inferior di masa yang akan datang. Sepertinya teori ini ada benarnya apalagi sebagai seorang muslim meyakini sebuah hadits qudsi "Allah itu mengikuti prasangka hamba-Nya".

Bisa jadi inilah yang menjadi penyebab mengapa bangsa ini sulit sekali untuk maju. Mayoritas anak bangsa masih berfikir inferior terhadap bangsa lain. Jangankan membandingkan martabat bangsa kita dengan bangsa lain di dunia. Berfikir optimis akan kemajuan bangsa saja hanya dimiliki segelintir orang. Mayoritas masyarakat Indonesia saat ini pesimis dengan masa depan bangsa.

Kalau saat ini kita masih berfikir inferior dan pesimis dengan masa depan bangsa bisa jadi keterpurukan dalam segala hal yang menghinggapi negara kita saat ini tak akan mau meninggalkan kita. Lalu apa penyebab mayoritas masyarakat Indonesia berfikir pesimis tentang masa depan bangsa.

Tentunya banyak sekali penyebabnya. Mulai dari pola pendidikan yang salah. Terpengaruh oleh lingkungan yang selalu berfikir negatif, tidak adanya keteladanan dari pemimpin bangsa, dan masih banyak penyebab lainnya.

Namun, kita sadar ini adalah kesalahan kolektif dan untuk menyelesaikannya pun harus bersama-sama pula. Ini adalah tugas kita bersama. Semua komponen bangsa harus bersinergi membangun optimisme terhadap masa depan bangsa. Terutama ini adalah tugas pejabat, wakil rakyat, pendidik, media massa, dan masyarakat luas.

Kepada seluruh masyarakat Pemilu 2009 ini adalah momen untuk tidak membiarkan para politisi busuk menjadi wakil rakyat dan pemimpin negeri. Saya yakin masih ada --bisa jadi banyak para calon pemimpin dan wakil rakyat kita yang bersih, mempunyai kapabilitas untuk mengelola negeri ini, dan bisa memberikan teladan yang baik kepada rakyat.

Kepada media massa inilah momen penting untuk membentuk masyarakat agar memiliki positive thinking terhadap masa depan bangsa dengan cara menginformasikan hal-hal yang positif kepada masyarakat.

Jangan seperti jurnalis infotainment yang berprinsip "bad news is good news". Karena kalau media massa selalu menginformasikan bad news maka akan membentuk pola fikir masyarakat menjadi negative thinking dan masyarakat berbicara tak lagi dengan fakta tapi prasangka.