Sabtu, Januari 31, 2009

Banyak kupasan pengamat melalui buku maupun artikel menyoroti kiprah politik Nahdlatul Ulama (NU) dalam sejarah nasional Indonesia –apalagi momentum pemilihan presiden (pilpres) ini melibatkan NU secara struktural dan kultural. Paling banyak kajian dalam perspektif pemaknaan “Khittah NU 1926” yang berisi penegasan diri NU sebagai organisasi sosial kemasyarakatan. Namun sejarah membuktikan bahwa NU selalu belepotan politik, meniscayakan opini publik memaknai khittah sebagai “khittah belaka” di atas kertas.

Banyak kupasan pengamat melalui buku maupun artikel menyoroti kiprah politik Nahdlatul Ulama (NU) dalam sejarah nasional Indonesia –apalagi momentum pemilihan presiden (pilpres) ini melibatkan NU secara struktural dan kultural. Paling banyak kajian dalam perspektif pemaknaan “Khittah NU 1926” yang berisi penegasan diri NU sebagai organisasi sosial kemasyarakatan. Namun sejarah membuktikan bahwa NU selalu belepotan politik, meniscayakan opini publik memaknai khittah sebagai “khittah belaka” di atas kertas.

Kupasan-kupasan itu ditujukan kepada NU agar memahami posisinya sebagai “kekuatan politik untuk tidak berpolitik”. Namun idealisme itu berbenturan dengan pandangan pribadi beberapa penggiat NU yang menafsirkan makna khittah sesuai kepentingannya. Maka sejak Orde Lama hingga Orde Reformasi, khittah selalu “dikambinghitamkan”. Salah seorang pencetus khittah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang lima tahun belakangan tidak banyak menafsirkan khittah dalam oral politik, karena telah melampaui pemaknaan khittah bukan dalam langkah wacana dan memaknai khittah dalam langkah politik praktis.

Kasus naiknya Gus Dur sebagai presiden adalah contoh kongkrit yang menjadi banyak pembahasan di lingkungan internal NU. Sebab, persoalan teknis implementasi khittah selalu menjadi hambatan untuk melakukan kerja-kerja profesional dan terarah secara signifikan bagi kalangan tertentu, khususnya warga NU yang tidak mempunyai modal sosial kuat. Termasuk perdebatan pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berkaitan implementasi khittah. Dengan penjustifikasian NU “hanya menfasilitasi pendirian PKB”, apakah idealisme khittah tetap berada dalam posisi netral?

***

Ketika beberapa petinggi NU terlibat bursa pencalonan presiden dan wakil presiden –termasuk mereka yang terlibat dalam Tim Sukses—yang telah berlangsung pada 5 Juli kemarin, tentu “pencarian makna” khittah menjadi lebih problematik. Di antara mereka yang “magang” dan mematut-matut diri layak sebagai presiden dan wakil presiden ada Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU), Shalahuddin Wahid (Ketua PBNU), Hamzah Haz (mantan aktifis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia/PMII) dan Jusul Kalla yang dipandang juga sebagai representasi NU, adalah fenomena bagaimana pemaknaan khittah itu harus memberikan ruang lebih lebar: Dirumuskan bagaimana makna khittah agar tidak dinilai menghalangi keinginan politik warganya.

Tampaknya sangat masuk akal beberapa warga NU lain merasa gerah dengan gejala di internal NU dan mengharapkan segera diadakan musyawarah untuk mengkaji kembali makna khittah. Ketika khittah harus berurusan dengan persoalan politik ini, maka beberapa warga NU di Yogyakarta menyuarakan agar NU segera menggelar Muktamar Luar Biasa (MLB). Sayangnya pihak-pihak yang merasa akan kehilangan muka jika forum ini digelar memberi pengertian bahwa MLB tidak bisa digelar sebelum pilpres karena sudah dijadwalkan bulan November 2004 (keterangan Said Aqiel Siradj dan Saiful Bachri Anshory/Pengurus PBNU). Keterangan lain disampaikan Maskut Candranegara (PP GP Ansor) menilai, dorongan MLB bukan bertujuan praktis sebagai ajang menjegal pihak tertentu. Justru melalui MLB ini perlu penegasan bahwa NU sebagai organisasi penjaga moral ketika semua ormas terjun dalam politik. Dengan pengertian, kalau bukan NU dengan massa besar yang harus memerankan diri sebagai penjaga moral itu, lantas siapa lagi?

***

Ya, dalam beberapa persoalan, NU saat ini sedang dalam kondisi kritis. Kritis melemahnya kekuatan moral untuk menjaga amanat founding fathers and mothers ormas ini yang bertujuan melindungi segenap bangsa dan negara. Sehingga harus ada upaya dari pihak tertentu, diharapkan dari kalangan muda, agar berupaya mengembalikan kiprah NU dalam persoalan sosial kemasyarakatan. Persoalan individu-individu melakukan kerja politik untuk kepentingan pragmatis memang tak bisa dinafikan begitu saja. Apalagi rambu-rambu di AD/ART NU bisa dikatakan “abu-abu”. Dalam konteks ini tak heran NU menjadi perhatian publik dalam pergulatan politik pilpres. Apakah akan semakin kelihatan bahwa NU cerdas memanfaatkan momentum ini atau sebaliknya.

Bahrul Ulum melalui buku provokatif “Bodohnya NU” apa “NU Dibodohi?: Jejak Langkah NU Era Reformasi (Ar-Ruzz Yogyakarta bekerjasama PW IPNU Jawa Tengah, 2002), menilai keterlibatan NU dalam politik sering berakhir “tragis” dalam arti “tidak mendapat apa-apa” secara politik, kecuali gagah dan mewah sebagai penjaga moral. Kata Bahrul, karena NU selalu membawa dampak tidak strategis bagi perkembangan demokrasi di internal NU akibat salah kaprah dalam mengambil kebijakan taktis. Di antaranya, keputusan-keputusan yang diambil selalu berdasar khittah, namun taktisnya sering dinilai ‘melanggar’ khittah itu.

Oleh sebab itu, kini masyarakat sedang menunggu, apakah “kebodohan” NU bisa berubah opini menjadi “kecerdasan”. Namun sayangnya, momentum pilpres putaran pertama yang lalu belum bisa disebut kita bisa mengucapkan selamat tinggal “Bodohnya NU” apa “NU Dibodohi”.* Kalangan Nahdliyin yang berjumlah besar secara kuantitatif, ternyata tidak memiliki nilai elektoral karena tersegmentasi dalam banyak pilihan capres dan cawapres. Hasil perhitungan sementara Tabulasi Nasional KPU yang didukung oleh perhitungan final quick count dan exit poll LP3ES dan National Democratic Institute (NDI) menunjukkan distribusi suara NU yang menyebar ke seluruh kandidat presiden dan wakil presiden yang bertarung dalam pilpres yang baru berlalu.

Fakta ini seharusnya dijadikan acuan utama untuk menyatakan bahwa NU tidak perlu digiring ke pilihan politik tertentu. Politik garam harus dikedepankan dengan asumsi substansiasi nilai-nilai politik yang memajukan keadilan dan kesetaraan bisa ditawarkan kepada siapapun yang memperoleh amanat selama lima tahun ke depan. Meminjam bahasa Ketua Pelaksana PBNU, K.H Masdar F. Mas’udi, kalangan NU sebaiknya lebih memikirkan lima tahun ke depan daripada menghabiskan energi untuk lima menit: waktu yang biasa dihabiskan voter untuk mencoblos di dalam bilik suara. []

(www.islamlib.com)

0 komentar: